PPN forwarder agar dipangkas
YOGYAKARTA: Dasar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pengangkutan jasa forwarder diusulkan diperhitungkan kembali sehingga persentase pungutan pajak itu menjadi hanya 1% untuk memacu daya saing.
Kalangan pengusaha terkait menilai pengenaan PPN 10% pada pengangkutan forwarder (freight forwarder) diberlakukan tanpa dasar perhitungan yang jelas.
Herry Susanto, Wakil Ketua Bidang Kepabeanan dan Perpajakan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI)— dulu dikenal dengan Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), mengatakan pembahasan hal ini terus dilakukan dengan pihak terkait.
“Harus ada perhitungan ulang karena spesifikasi jasa forwarder yang masuk dalam perhitungan pajak ini tidak jelas. Kami telah mengusulkan apa saja yang masuk dalam sektor forwarder. Dan dalam perhitungan kami, PPN untuk forwarder diusulkan 1%,” katanya kemarin.
Menurut Herry, pengenaan PPN ini menekan daya saing sektor forwarder. Apalagi, kata dia, saat ini bisnis tersebut saat ini semakin lesu karena tekanan biaya angkut yang tinggi.
Dia mengungkapkan 15 tahun lalu, margin keuntungan freight satu peti kemas untuk perusahaan jasa bisa mencapai US$250. “Sekarang ini, untuk dapat US$25 saja susahnya setengah mati.”
Dengan demikian, perhitungan kembali dasar pengenaan PPN untuk freight forwarding diharapkan dapat memicu daya saing bisnis ini kembali.
“Shipping line [maskapai pelayaran] untuk ocean freight [angkutan laut] tidak dikenai PPN karena penyerahan barangnya di luar wilayah pabean. Ini memang betul. Namun, di dalam negeri ini justru menekan karena biaya angkutan saja sudah tinggi.”
Optimasi
Di sisi lain, pengangkutan barang dengan moda kereta api sekaligus optimasi pergudangan di stasiun dinilai dapat menjadi alternatif menekan biaya logistik yang tinggi.
Hal itu diungkapkan Direktur Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Kuncoro Harto Widodo. Menurut dia, salah satu efisiensi untuk memacu kinerja pengiriman dan logistik adalah dengan integrasi dan manajemen moda.
“Jalur kereta api potensial untuk menjadi salah satu cara untuk manajemen moda. Kereta menjadi jalur utama dan nanti di kantong tujuan diintegrasikan dengan truk atau kendaraan lain,” ujarnya.
Kuncoro mengatakan strategi ini didukung dengan optimasi gudang di stasiun yang dimiliki oleh PT Kereta Api Indonesia maupun gudang-gudang yang dioperasikan swasta.
Dengan cara integrasi moda angkutan ini, lanjut dia, biaya angkut yang tinggi dapat ditekan.
Dia mengakui kinerja logistik di Indonesia belum cukup efisien karena beberapa faktor, termasuk biaya tinggi. Selain ongkos, lanjut dia, berdasarkan penilaian Bank Dunia dalam logistic performance index (indeks kinerja logistik), infrastruktur, kepabeanan, dan kompetensi juga menyebabkan indeks kinerja logistik nasional masih menempati peringkat 75 dunia dengan poin 2,76.
Pustral UGM, tambah Kuncoro, melakukan kajian untuk meningkatkan efisiensi tersebut, a.l. mengusulkan penerapan strategi optimasi dan integrasi angkutan multi moda.
“Infrastruktur memang juga harus diperhitungkan karena ada infrastruktur yang memang harus dibangun atau ada pula infrastruktur yang sudah ada tetapi belum dapat dioptimalkan,” tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Iskandar Zulkarnain menuturkan kalangan pengusaha juga perlu meningkatkan kompetensi kerja. “Kompetensi merupakan faktor kunci pendukung logistik.”