Freight Forwarder > Berita > AKHIRNYA MELEDAK REGULATED AGENT

AKHIRNYA MELEDAK REGULATED AGENT

Freight Forwarder
Freight Forwarder Indonesia
International Freight Forwarder

JAKARTA: Akhirnya meledak juga. Hari ini kargo udara ngadat di Cengkarang gara-gara kisruh penerapan aturan baru terkait kewajiban periksa barang kiriman oleh regulated agent atau agen inspeksi.

Jangan heran jika koran tidak sampai ke daerah karena tidak terangkut pesawat pagi ini. Sejumlah penerbit media cetak mengeluhkan kerugian ratusan juta rupiah karena kargo koran hari ini gagal terkirim karena penyedia jasa pengiriman barang lewat udara mogok.

Grup Tempo klaim rugi Rp500 juta. Itu belum termasuk Grup Bisnis Indonesia dan Republika. Padahal, kiriman koran ke berbagai daerah itu tidak lebih dari 20% dari arus kargo udara sekitar 950 ton per hari.

Hitung saja berapa total kerugian yang terjadi karena mogok kerja provider kargo udara hari ini. Belum lagi, barang kiriman lain dari berbagai daerah pun ikut menumpuk akibat kisruh di Cengkareng.

Sebenarnya, ini bukan isu baru. Regulated agent atau RA ibarat bom waktu yang siap meledak karena dinilai kontoversial oleh pelaku usaha sejak disebut-sebut akhir tahun lalu.

Awalnya, wajib periksa barang kiriman atau kargo udara oleh RA diberlakukan Januari 2011. Namun, gejolak penolakan di lapangan terjadi karena kebijakan itu dinilai prematur dan gegabah yang berpotensi menganggu lalu-lintas pengiriman kargo udara.

Setelah beberapa kali peundaan, Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan memutuskan pemberlakuan mulai 16 Agustus 2011. Ini sesuai kesepakatan bersama pelaku usaha dalam rapat dengan Kadin, PT Angkasa Pura II sebagai pengelola Bandara Soekarno Hatta, dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan pada Mei lalu.

Namun entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Angkasa Pura II mewajibkan periksa RA berlaku 4 Juli 2011 mulai pukul 00.00 untuk kargo domestik. Pengusaha pun kelabakan. ‘Bom waktu’ pun meledak hari ini dan melumpuhkan pengiriman barang dari dan ke Soekarno Hatta.

Pada dasarnya, penerapan aturan ini tidak lepas dari ketentuan internasional terkait faktor keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan ketentuan Asosiasi Badan Penerbangan Sipil Dunia (International Civil Aviation Organization/ICAO).

Intinya, barang kargo atau kiriman yang diangkut dengan penerbangan sipil harus diperiksa oleh agen khusus yang ditunjuk otoritas.

Tidak ada yang salah dengan itu karena selama ini mekanisme tersebut telah berjalan dengan melibatkan delapan operator gudang atau warehouse operator, seperti PT JAS, Gapura Angkasa, Garuda Kargo, RPX, atau DHL.

Sebagai otoritas, Kementerian Perhubungan berhak menerbitkan aturan yang menyatakan wajib periksa dengan menunjuk perusahaan pemeriksa kargo yang dapat bertindak sebagai RA. Sampai di sini, juga masih tidak ada yang salah.

Namun, menjadi pertanyaan ketika proses seleksi dan penunjukan RA yang dinilai sejumlah pihak tidak transparan menghasilkan tiga provider RA, yaitu PT Duta Angkasa Prima Kargo, PT Ghita Avia Trans, dan PT Fajar Anugerah Semesta.

Sementara, delapan operator gudang yang telah beroperasi sebelumnya justru sama sekali tidak menjadi RA sampai hari ini meski telah lama mengajukan diri agar disertifikasi oleh Kementerian Perhubungan.

Saking abu-abunya persoalan ini, aroma tidak sedap ikut menyeruak yang menyebutkan adanya kongkalikong pihak-pihak tertentu yang berpangkat dan memiliki kekuasaan di balik kebijakan itu.

Namun, Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti S. Gumay membantah. Dia mengatakan sudah banyak perusahaan yang mengajukan diri menjadi provider RA.

“Pengajuan menjadi RA itu sudah banyak yang masuk, lebih dari 10 perusahaan, tapi mayoritas masih selembar kertas, belum lengkapi prasyarat.”

Inefisiensi kargo

Perubahan mekanisme pemeriksaan dari delapan kargo menjadi tiga RA saja berdampak pada waktu pengiriman barang yang terpaksa diperpanjang selama 2 jam.

Menjadi konyol, karena kargo udara adalah kiriman sensitif waktu yang butuh cepat. Ketua Asosiasi Forwarder dan Logistik Indonesia di Bandara Soekarno Hatta Arman Yahya menegaskan ini berpengaruh pada efisiensi pengiriman.

“Penerbangan ke Singapura saja hanya 1 jam 20 menit. Di kawasan Asean paling tidak 4 jam. Akan bagaimana daya saing produk ekspor kita?”

Selain itu, fasilitas pemeriksaan RA juga tidak dilengkapi fasilitas khusus untuk kargo sensitif seperti produk segar, rush cargo,  perishable good, dan high value good seperti emas batangan.

Pengamatan Bisnis di lokasi pergudangan Soekarno Hatta menemukan infrastruktur pemeriksaan salah satu provider RA di bandara tidak memadai karena hanya menggunakan area terbuka yang tidak dilengkapi bangunan gudang tertutup serta loading bay untuk memudahkan handling dan mengamankan kargo dari potensi cuaca pada saat pemeriksaan.

“Dengan arus 950 ton per hari, kapan selesainya kalau hanya ada tiga RA dan diperiksa koli per koli,” keluh Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia (Asperindo) M. Kadrial beberapa waktu lalu.

Persoalan menjadi kian rumit ketika biaya pemeriksaan ikut melambung. Dari rata-rata saat ini biaya pergudangan Rp280 per kg, handling atau kade Rp125 per kg, dan biaya pemeriksaan dengan alat pindai atau x-ray Rp60 per kg, melonjak hingga Rp850 per kg.

Bahkan, mekanisme pemeriksaan ini juga belum melibatkan peran Bea dan Cukai sehingga barang tujuan ekspor dari kawasan berikat yang biasanya hanya menanggung Rp60 per kg terancam membayar Rp1.050 per kg karena aturan RA.

Jelas, pabrik elektronik tujuan ekspor di kawasan industri EJIP, Cikarang, juga di KICC, Suryacipta, MM2000, dan kawasan industri Cimanggis sontak keberatan.

Data Gabel yang diperoleh Bisnis, tambahan biaya yang harus ditanggung oleh 12 produsen elektronik yang beroperasi di 5 kawasan berikat itu mencapai Rp20,4 miliar per tahun dari sebelumnya Rp1,8 miliar per tahun dengan tarif Rp60 per kg menjadi Rp22,2 miliar per tahun jika dikenai tarif pemeriksaan Rp750 per kg.

Di lain pihak, meski tegas mendukung, Senior Manager Mail, Logistic and Operation PT Pos Arief Setyanto mengatakan pemberlakuan yang mendadak tanpa sosialisasi akan berdampak bagi industri.

PT Pos yang juga menggunakan transportasi udara telah menghitung biaya tambahan yang harus ditanggung mencapai Rp12 miliar per tahun dengan rata-rata volume kargo udara melalui Bandara Soekarno Hatta saja sebanyak 30 ton per bulan.

Tidak hanya dari penyedia jasa kiriman kargo, maskapai penerbangan juga menyoroti ketidaksiapan tiga perusahaan RA.

Tengku Burhanuddin, Sekjen  Indonesia National Air Carrier Association (INACA), menilai ketiga perusahaan itu belum mampu memehuni kualifikasi teknis pengamanan penerbangan berstandar internasional.

“Yang menjadi perhatian INACA adalah dari sisi compliance [keterpenuhan syarat]. Ketiga perusahaan  RA  belum comply dengan aturan yang ada, belum memenuhi persyaratan keamanan penerbangan.”

Sekjen INACA itu mencontohkan aspek keterpenuhan dari segi  contingency plan atau perencanaan untuk kondisi darurat. “Misalnya prosedur penanganan ancaman bom, prosedur penanganan barang yang dicurigai, prosedur bila peralatan pemeriksaan tidak bekerja, dan detil peningkatan level keamanan berdasarkan ancaman, itu bagaimana?” tanyanya.

Susie Charma, Sekjen Board of Airlines Representatif Indonesia (BAR Indo), asosiasi maskapai penerbangan asing di Indonesia, mengungkapkan maskapai masih meragukan tingkat keamanan tiga provider RA karena banyak anggota BAR Indo yang merupakan maskapai penerbangan asing belum melakukan audit.

Kisruh hari ini di Soekarno Hatta karena mogok kerja provider jasa pengiriman barang mungkin bisa menjadi shock therapy saja karena kebebalan pihak-pihak yang memiliki kewenangan terkait aturan RA. Meskipun tindakan itu juga tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan terus terjadi.

Bagaimanapun soal keselamatan penerbangan sipil adalah hal yang tidak bisa ditawar, tetapi pengelola bandara dan regulator mesti sensitif dengan kepentingan bersama yang lebih besar.

Saat ini, daya saing logistik Indonesia jauh tertinggal dari negara lain di kawasan Asean. Laporan Bank Dunia tentang logistics performance index menempatkan Indonesia di posisi ke 75.

Pemeringkatan Bank Dunia di sektor kinerja logistik itu merosot dibandingkan dengan 2009 yang masih berada di level 64.

Belum lagi, daya saing barang ekspor asal Indonesia yang pasti terpengaruh jika tarif pengirimannya saja sudah mahal. Peningkatan tarif ini jelas akan dibebankan pada harga jual barang.

Harga keselamatan dan keamanan penerbangan sipil yang mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang otoritas penerbangan akhirnya akan berujung pada beban di tingkat konsumen. Toh, jarang ada pengusaha yang mau rugi. (aprika.hernanda@bisnis.co.id)

Enter your email address:

Freight ForwarderAKHIRNYA MELEDAK REGULATED AGENTAKHIRNYA MELEDAK REGULATED AGENT
Freight Forwarder Indonesia AKHIRNYA MELEDAK REGULATED AGENT This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink. • TwitterFacebookFeed

Comments are closed.